Sabtu, 24 Desember 2016

Dunia yang Sudah Terlanjur Begini Part1

Dimulai dengan sebuah anggapan bahwa globalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa kita tolak, maka semua harus berpikir global, go international, seperti Agnez Monica. Nggak gaul kalau nggak pegang gadget yang bisa akses informasi sampai luar negeri. Apa yang terjadi di London saat ini, bisa kita ketahui beberapa detik setelahnya. Dulu saya ingat, bahkan tetangga saya bisa taruhan bola untuk sebuah siaran tunda. Sekarang, kita update status “gollll…” telat lima menit saja di twitter atau facebook, akan dibilang basi.
Semua serba cepat. Yang tidak cepat akan dianggap golongan tertinggal, kita merasa iba terhadap mereka, sehingga Internet harus masuk ke pedalaman. Harus, harus, harga mutlak.
Saya kemudian membayangkan sosialisasi Internet ke pedalaman.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu sekalian, ini adalah modem. Modem ini bisa menhubungkan kita dengan dunia luar. Apa yang terjadi di London, akan kita bisa ketahui saat ini juga. Ada pertanyaan?”
“Saya, Pak.”
“Silakan..”
“Apa itu London.”
Nah, jangankan mereka merasa penting London itu apa, jangan-jangan London pun mereka tidak tahu atau mungkin tidak perduli. Lalu kita yang lebih tahu berarti lebih beruntung. Tidak juga, tidak ada yang tahu siapa lebih bahagia, tidak ada ukuran dan satuan untuk kebahagiaan. Apakah mega, giga atau tera, tidak ada yang pernah mengukur. Apakah informasi yang ber-tera-tera bytes kita terima dari Internet, TV, radio, dll, itu membuat kita bahagia. Sudahlah jadi terlalu filosofis.
Nah itu juga yang saya mau ungkit. “Sudahlah jadi terlalu filosofis.” Ini adalah ungkapan ketakutan terhadap anggapan masyarakat. Sekarang orang hanya dianggap, dihitung kontribusinya bila berkontribusi dalam ekonomi atau ada hubungannya dengan itu. Sumbangan pemikiran tidak lagi dihargai, jangan-jangan lebih dihargai sumbangan doa saat ini. Padahal ilmuwan-ilmuwan awal adalah para filsuf, yang mempertanyakan dunia, yang berandai-andai, walau mereka juga rata-rata polimatik (silakan search sendiri di wikipedia).
Semua dihitung dengan valuta, mata uang, sampai-sampai kita lupa bahwa mata uang itu karangan manusia, tidak nyata. Sampai-sampai semua barang dibuat di Cina gara-gara biaya produksi lebih murah bahkan setelah ditambah ongkos kirim. Jadilah semua buatan Cina. “God created Adam and Eve, but the other things are made in China.” Gitu kata sebuah broadcast BBM.
Sampai-sampai kita lupa, bahwa “murah” hanya karena valuta, dalam hal ini USD atau EUR. Lebih murah semua dibuat di Cina. Padahal kalau dihitung balik, semua bahan baku diangkut ke Cina, lalu setelah jadi, dipack, dan didistribusikan lagi ke negara-negara lain. Lebih murah secara valuta, tapi dari penggunaan energi? Minyak? Lebih boros dong. Inilah yang menjadi sebab dunia berjalan dalam pemborosan luar biasa. Gara-gara kita terlanjur percaya terhadap valuta. Gara-gara semua ingin go international seperti Agnez.
Dulu (masih di abad 20, tidak terlalu dulu-dulu banget), orang Bekasi ya makan beras dari sawah di Bekasi. Sekarang Bekasi yang disebut jauh itu pun sudah berdiri Suma Recon, wow, kemana tuh sawah. Akhirnya apa? Saat ini “konon” 1 kalori makanan diproduksi dengan 7 kalori energi. Gara-gara apa? Gara-gara kita mengejar valuta dan go international seperti Agnez.
Ah, saya nanti dibully fans Agnez. Harusnya kita lebih betah di rumah lah, bensin tambah mahal. Zaman dulu manusia juga melakukan eksplorasi, tapi itu jadi profesi khusus. Hanya orang-orang seperti Colombus, Vasco da Gama, Marco Polo, dkk, yang melakukan itu. Merekalah the explorer. Sekarang? Yah, jadi pembantu aja pada ke Arab dan Malaysia.
Kenapa harus seperti ini? Sudah terlanjur. Siapa yang bertanggung jawab, ya kita semua. Tapi ibarat orang hamil, tentu ada yang menjadi penyebab, siapa yang menghamili. Saya menunjuk tiga orang, yang bisa dibilang berjasa atau tidak, tapi tiga orang ini adalah penyebab awal keterlanjuran yang berlanjut ini. Satu adalah Adam Smith, kemudian James Watt dan yang terakhir Rockefeller.
Kenapa mereka?